Skip to content

Turun dari Kahyangan….

Ini cerita jaman dahuluu kala…

Cerita lucu teman hidupku kini. Syahdan.. banyak laki-laki mungil yang menyukai teman saya ini, maklum orangnya cantik jelita. hehe. Kenapa saya sebut mungil karena saat itu  mereka masih duduk bangku SMP.. hahaha

Nah, singkatnya pada hari-hari di mana Mbah, nenek temanku dari pihak ibu sedang di Bandung , ada yang ganjil. Mbah dan ibu temanku itu cekikikan… setelah sedikit berpuisi.. “engkau bagaikan bidadari….. yang turun dari kahyangan…”, lalu cekikikan… hihi. Ada yang ganjil terasa … ada sesuatu yang salah.

Nah lagi, Apalagi ketika temanku ini turun dari loteng setelah selesai menjemur baju. “… Engkau bagai bidadari yang turun dari kahyangan…. hihihi”, begitu Mbah berpuisi. dan Ibu pun ikut cekikikan. begitu hari-hari dimana Mbah berada di bandung untuk durasi sekitar 1-2 mingguan.

Temanku itu merasa aneh tapi tak mengerti.. mengingat-ingat kejadian yang lalu, tak satupun yang berkaitan ttg itu, film? tak ada juga… sudahlah pikirnya.

…. Dan… rahasia itu terkuak juga….

Sebuah surat di berikan ibu pada temanku itu..”Nih…”, singkat.

Temanku kaget… O-ow….

Ah, firasat buruk itu terbukti… keganjilan itu berkaitan dengan dirinya. Lalu dibukalah surat dengan sampul yang sudah terbuka. O-ow alamak.. walah dalah, ternyata itu surat cinta dari penggemar yang duduk di bangku STM,  yang dikirim lewat pos!! dan.. isinya… yaitu tadi, ada penggalan puisi …”Engkau bagaikan bidadari, yang turun dari kahyangan…” –

 

hehe….

Olga Pupus…

Sudah lama tak mengontak teteh ku, malam itu saya mencoba menyapa.

“Halo.. apa kabar?”

Dijawab tak lama kemudian…

“ngantuk….. sedih… mata sembab nih… baru nangis”

“ohh.. ada apa?”, duh dalam hati menjadi risau.

Dan ….. silent, tak ada jawaban.. sampai pagi berikutnya, siang hari.. malam esoknya pun.

Saya resah, takut terjadi apa apa  yang tidak diinginkan. Jarang-jarang teteh ku yang satu ini bersedih, keceriaan adalah sifatnya. Kembali melihat HP ku, masih belum dijawab padahal sudah di –Read.

Pikiran yang macam-macam sampai hal yang terburuk hadir. Asli resah, takut ada apa-apa..

Sampai akhirnya beberapa hari kemudian saya mengontak kembali…

“Apa kabar, semua aman-aman saja?”

Dijawab dengan santai..

“Hai… kabar baik.. disana gimana?”

Lah, ada apa ini.. kemarin bersedih sekarang nampak santai. Saya pun bertanya kembali, dan sedikit bersyukur hal-hal yg buruk tidak terjadi tentunya.

“Kemarin sedih apa…? Tak ada apa-apa kan?”

Tetehku tertawa… dan lanjut menjawab “.. ohh.. sedih itu … Olga pupus”

 

 

Euuhhh…..

 

Kisah dari Rumah Petak

Teman (hidup) saya bercerita, tentang teman masa kecilnya. Dikisahkan dia mempunyai seorang teman di depan rumah. Sebut namanya Imas, umurnya 1-2 tahun dibawah istri saya. Diceritakan juga bahwa dia suka main di rumah Imas. Banyak ketakjuban dari seorang kanak akan  kehidupan Imas ini. Konon ayahnya meninggalkan ibu dan keempat anaknya. Bungsu nya adalah Imas ini.

Ibunya bekerja menjadi pencuci pakaian keliling, dua anak yang besar sudah tinggal di luar, Man.. menjadi pemulung, tak sekolah. Jadi di rumah, hanya ibu dan dua anak saja. Rumah petak dimana mana kecil tak ada yang luas lapang nan damai…, tapi saya ceritakan lagi kelebihannya, yaitu atapnya yang sangat rendah, konon orang dewasa pun harus sedikit membungkuk. Bagi kanak-kanak mungkin ini mengasyikan, karena barangkali serasa di rumah mini. Dan owh, ada keunikan lain dibanding rumah petak umumnya. Ada bagian yang ditinggikan pada lantainya, diplester semen rapi. Ini berfungsi sebagai ranjang. Dan… digelarlah tilam, itulah ranjangnya.

Istri saya menyukai Imas, karena banyak yang dipelajari dari dia. Saat itu istri saya sekolah kelas 3 an, Imas kelas 2 SD. Apa yang dipelajari? Sebetulnya mungkin bukan dipelajari.. tapi dilihat, salah satunya adalah menyetrika dengan setrika powered by arang. Nah, man… usia kelas 2 SD membantu ibunya menyetrika dengan setrika arang!. Man.. kembali saya harus bilang man.. mandom! Haha. Ini nyata, seperti yang diriwayatkan istri saya, dan saya harus percaya ini. Tak boleh tidak.

Dikisahkan, untuk memulai ritual setrika, Imas membawa keluar setrikaan favoritnya itu, lalu arang dinyalakan. Adalah khas kemudian, arang dikipasi dan dimainkan ala tukang sate agar apinya menyebar seperti yang diharapkan. Setelah ok, dimulailah ritual menyetrika pakaian para pelanggan setia ibunya Imas.

Sudahlah, jangan terlalu dibayangkan bagaiman berat setrika arang dibanding setrika modern. Terlalu enak kisah ini untuk dihayati dan mengkoyak-koyak hati ini.. menderai-derai mata..

Kegiatan lain adalah acara menyuguhi tamu, istri saya kerap disuguhi, mungkin bukan selalu. Yang disuguhi adalah the manis hangat! Man.. istri saya masih ingat bahwa itu awalnya adalah perintah ibunya, Imas mengajak istri saya pergi mencari air di TMB, Tempat Mencuci Bersama. Anak kecil tergopoh membawa air untuk dimasak.. ah ingin rasanya melihat saat itu, dua anak-anak kecil gadis lucu berepot-repot membawa air. Istri saya bertanya bagaimana cara memasak air? Lalu Imas pun mendemokan cara membuat api di kompor minyak tanah, lalu direjanglah air dalam panci yang bentuknya sudah jauh  dari bentuk asli ketika pertama kali dibeli duluuu, jaman bahuula. Lalu Imas memberi tahu, bahwa itu harus ditunggu sampai menggolak. Istri saya tak tahu apa itu menggolak, dan beberapa saat kemudian, ketika saat takdirnya telah tiba.. saat titik 100 derajat Celcius, atau setara dengan 373.15 derajat Kelvin dicapai dan air pun menggolak. Pada kali pertama itu, paham lah istri saya apa arti menggolak. 😀 😀

The panas dihidangkan.. dibubuhi gula, agar manis.. ah indahnya masa kecil istriku.

 

Rumah petak yang ditempati Imas dan keluarga, terdiri dari jejeran 4 unit tipikal plus unit khusus. Unit khusus ini lebih kecil, bisa dibilang seperti pos ronda. Hanya utk tidur dan menyimpan pakaian. Penghuninya adalah seorang pensiunan tentara yang membeca setiap harinya, alm Mang Pandi. Konon uang pensiunannya sudah menjadi hak absolut mantan istri dan anak-anaknya. Kesebatang-kara-an Mang Pandi dicukupi dari mem-beca. Salah satu khas kehadirannya adalah di beberapa malam suara batuknya yang terdengar…….

Petak unit pertama dihuni keluarga asal Jawa Tengah, Bude  istri saya memanggilannya. Berdagang di stasiun kereta api. Unit kedua dihuni keluarga Imas, yang hidup dari mencuci pakaian dan dukungan kedua anaknya yang menjadi pemulung. Unit ketiga diisi oleh guru ngaji dengan istri dan dua anaknya yang cakep, kata istri saya. Dan unit keempat dihuni keluarga dimana ayah dan semua anak laki-lakinya  yang kekar juga dan tak pernah merasakan bangku sekolah tapi langsung membangun kerajaan bisnis pribadi tanpa resiko krisis….. bisnis memulung. Karena unitnya berada paling ujung, praktis halamannya menjadi storage barang-barang yang masih ada nilainya untuk dijual ke bandar sampah daur ulang. Jangan khawatir bagaimana hasilnya kemudian jika anak-anak kekar ini tak bersekolah.. mereka kini semua sudah berkeluarga, mandiri dan tetap kekar, dan menghasilkan generasi yang kekar pula..  sebuah golongan khusus, golongan yang dibutuhkan dan dicari masyarakat perkotaan saat ini…

 

Dikisahkan, penghuni rumah petak ini kemudian dibubarkan oleh pemiliknya. Ada bumbu tangis-menangis pada saat eksekusi pengosongan. Saya tak bisa komentar, karena kurang info tentang ini. Tapi saat itu Mang Pandi sudah meninggal, jadi kejadian ini menimpa hanya pada empat keluarga saja. Sudahlah.. jangan terlalu detail tentang ini, jadinya terlalu o mama o papa banget. Hehe

 

Kisah diakhiri cukup enak diikuti, semua alumni set rumah petak ini kini masing-masing sudah memiliki rumah pribadi. Beberapa di pinggir rel kereta, cukuplah itu.. kalau kemudian ceritanya kebanyakan mereka berhasil memiliki rumah di cluster-cluster mewah.. terlalu amerika banget ceritanya, tak asyik jadinya apalagi misal salah satu anak alumni petak itu diceritakan menjadi Rambo.. . Apapun, yang penting ada kemajuan, memiliki property.

Imas? Alhamdulillah Imas sudah berkeluarga dengan anak yang sudah remaja, konon menikah di usia muda dan kini bekerja di pabrik. Saya tak tahu posisinya apa, tapi syahdan di suatu hari ibu mertua saya memerlukan bantuan ibunya Imas, Imas dengan halus menolak permintaan itu… “Maaf bu,… ibu terlalu tua untuk bekerja, meski hanya untuk menemani sekalipun…..” Nah… 🙂

 

 

Shalat Di Masjid…

Bismillah,

Alhamdulillah, Kembali saya menemukan butiran mutiara hikmah kehidupan lagi.  Dan lagi itu berawal dari kegelisahan-kegelisahan hidup dan pencarian-pencarian makna hidup. Pertanyaan awalnya, untuk apa saya hidup dan memperjuangkannya. Resiko hidup, itu harus ditunaikan, karena itu adalah kewajiban, meski sering ditambah embel-embel ingin hidup lebih dan lebih nyaman. Bersamaan dengan itu adalah kewajiban lain yang lebih utama untuk menjadi hamba yang bertakwa. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Di tambah berbuat kebajikan. Selesai.

Lalu.. bentuk ideal seperti apa bagi saya dalam kehidupan yang penuh dengan hedonism ini? Menepi dan focus pada menimba ilmu agama? Dan lain-lain dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal yang membimbing saya menuju kesimpulan yang satu ini, dari berbagai bacaan dan kejadian, baik itu yang dialami sendiri atau bukan. Kejadian pertama adalah ketika menonton video bagaiman seorang Raja Arab Saudi yang baru naik takhta meninggalkan tamu kehormatan, seorang Presiden USA, demi memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa, Allah ta’ala.

Dunia tercengang akan kejadian ini, pro-kontra muncul tapi tidak terlalu terbuka. Saya pribadi kagum, bagaimana seorang Raja memprioritaskan panggilan shalat dan mengambil resiko dikecam pihak luar. Nampak, apapun resikonya, prioritas tertinggi tetap diperuntukan kepada Allah.

Kemudian saya teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sbb:

“Sesungguhnya sholat yang paling berat bagi orang munafiq adalah isya dan shubuh, seandainya mereka mengetahui pahala yang terkandung dalam sholat isya” dan sholat subuh niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan  merangkak”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tercenung lagi.. sebuah pahala yang luar biasa, yang tak tersebut tapi saya yakini ada sesuatu disana. Apakah itu sebuah istana megah, apakah itu sebuah taman yang indah? Tak tahulah, tapi  adalah sesuatu yang menggembirakan pastinya karena bisa dibayangkan, saking indahnya pahala tersebut, bahkan seseorang rela untuk merangkak untuk dapat melaksanakannya, walau dalam keadaan yang sangat berat, demi meraihnya. Masalahnya, pahala itu tak tertulis atau tervisualkan, apakah itu di akhirat nanti, atau juga di dunia ini…? Tak terdeskripsikan jelas, tapi hanya sebuah isyarat bahwa itu sangat indah.

Dari dua itu, lalu saya merenungi perjalanan hidup. Setiap hari kita bekerja mencari penghidupan, agar dapat hidup layak dan beradab. Dalam tulisan sebelumnya, saya menyinggung ini. Yang kemudian muncul pertanyaan lalu apa yang harus dilakukan setelah hampir semua diraih? Karena pada titik itu juga kita harus siap untuk kehilangan. Tak boleh tidak, tak boleh tak mau ketika takdir mengharuskan untuk melepaskannya atau kehilangannya.

Pencarian keideal-an hidup pun dimulai. Dimulai pada kehidupan sehari-hari, dengan sedikit mengenyampingkan event-event besar dalam hidup, karena kadang itu banyak menguras energy untuk dipikirkan dan diperhitungkan, padahal kehidupan keseharian adalah bagian terbesar pada porsi kehidupan ini.

Baiklah, dalam satu hari, kehidupan saya diawali dengan bangun untuk shalat subuh berjamaah dengan istri, lalu seringkali tidur sebentar karena waktu pergi kerja masih lama. Setelah itu bekerja penuh seharian, istirahat di tengah, Shalat dhuhur dan ashar di surau kantor, kadang juga di laksanakan di rumah. Pulang ke rumah, beristirahat sebentar mengobrol atau nonton TV bersama istri, lalu shalat maghrib berjamaah di rumah. Makan malam, mengobrol dan menonton TV, membaca, sms-an, whatsapp-an, fb-an. Sesekali mengaji setelah Shalat Isya, lalu tidur.

Bagi saya itu kualitas hidup yang lebih dari cukup, semua masih sinkron dan masih sempat utk baca-baca. Tidak banyak waktu terbuang di jalanan, karena jarak dari rumah ke tempat kerja tidak terlalu jauh. Dan juga berlamaan ewuh-pakewuh di media social apapun bentuknya sudah dikurangi. Takutnya nanti, di ujung sana akan muncul, meski hanya sedikit , yaitu penyesalan betapa banyaknya waktu yang terkuras untuk satu itu…. Waktu yang panjang untuk dilalui, hanya utk demi sebuah ewuh-pakewuh saja. Hihi.

Kembali kepada bagian awal-awal tulisan ini, ada yang kurang dengan pola hidup keseharian ini. Ada yang kurang afdol. Kurang high quality lah istilahnya. Terlalu simple. Teringat akan kata-kata, “bahkan untuk mendatanginya, rela sampai merangkak.”. Ini sebuah isyarat bagi saya, ada kekurang afdol-an dalam menunaikan kewajiban ini.  Dan jeng-jreng.. sebuah hadits menegur saya:

 

Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat.”

Masya Allah.. betapa hebatnya pahalanya, bahkan malaikat pun diperintahkan khusus untuk mendoakan sepanjang shalat dilaksanakan. Dan argo dihitung.. meski dalam keadaan diam untuk menanti shalat. Sudahlah, yakini ini… ini suatu yang luarbiasa, dan terjadi di kehidupan keseharian.

 

Saya kembali mencoba merumuskan lagi hidup keseharian yang ideal, karena laki-laki diperintahkan untuk berjama’ah tidak di rumah dan tidak di tempat kerja. Memang indah terasa, mengimami keluarga di rumah, sangat terasa sejuk tapi itu bukan yang ter-afdol. Saya harus pergi ke masjid. Titik.

Saya teringat dulu, kebiasaan saya shalat berjamaah di masjid pada saat SMA kelas tiga dalam menghadapi kelulusan, dan masih diteruskan saat awal-awal kuliah, dan setelah dari itu.. astaghfirullah, sangat sulit dilakukan. Pada saat SD dan SMP, itu masih ‘belang-betong’, karena ajakan teman dan juga masjid tepat di depan rumah.

 

Kemudian ada sedikit penolakan dari dalam diri saya, atau pastinya alasan manusia yang terbisiki. Saya tinggal di apartemen, sulit untuk mendatangi masjid terdekat. Kalau jalan perlu waktu hampir 15 menitan, kalau pakai kendaraan pas saat macet untuk waktu magrib. Saat subuh.. yaitulah, belum bangun. Hehe.. Astaghfirullah.

Jadi saat itu alasannya, kalau Insya Allah tinggal di komplek perumahan seperti dulu, tentu akan saya tunaikan ini, tapi kan sekarang berbeda keadaannya. Dan kadang terpikir, “yah.. nanti lah.. di saat masa-masa pension.” Nah itulah… alasan. Ada alasan lain juga, masa istri ditinggal sendirian di rumah?

Dan malam itu saya berdiskusi ringan dengan istri, eh.. Alhamdulillah, tak disangka, justru istri saya mendukung saya untuk itu. Karena memang itu yang lebih afdol. Maka, di subuh itu.. saya paksakan, karena memang Kendala utamanya adalah saya harus pergi ke garasi yang.. yaitulah, cukup menakutkan bagi saya. Hehe.. da gimana atuh. Tapi saya yakin, masa orang yang mau ke masjid takut. Dan kalau ada apa-apa, bahkan sampai yang terburuk, setidaknya saya dalam keadaan berniat akan pergi ke masjid. Byar.. hilang lah ketakutan itu.

 

Subuh itu saya mendatangi masjid… Masjid Tabung Haji, agak kesulitan memang untuk parkir. Tapi itu tak penting.. Nikmat luar biasa. Ada sebuah gairah baru dalam hidup saya. Menikmati itu.

Besoknya saya bersemangat, tapi mencoba di masjid di belakang, dan ternyata tersedia lahan parkir yang luas. Nikmat dan nikmat lagi dirasakan. Sudahlah, sulit saya menuliskannya disini, coba dan buktikan sendiri saja.. hehe

Tuan, dan seperti ketagihan.. magrib pun saya pergi ke masjid. Untuk mendapatkan kesempurnaan dalam beribadah, dan kemudian …. dan kemudian saya menjadi terbiasa. Untuk saat ini, karena istri saya sedang hamil, maka untuk Isya saya kompromikan untuk berjamaah di rumah saja. Insya Allah, kalau sudah ada ade bayi, dan ada kesempatan.. Isya diteruskan di masjid. Untuk Dhuhur dan Ashar, untuk sementara ini waktu kurang bisa diajak kompromi, pilihan adalah surau di kantor.

 

Dan catatan penting yang saya tuliskan adalah.. kualitas tertinggi ideal dalam hidup keseharian seorang laki-laki adalah adanya kesempatan untuk rutin  berjama’ah di masjid setempat.

 

Saya kemarin membaca, bagaimana ada orang harus pergi start dari rumah pukul 4 pagi agar dapat sampai tepat waktu di tempat kerja. Orang itu tak salah, bahkan artinya bertanggung jawab, itu bagus Tapi kemudian munculah jawaban atas kenapa kita harus berusaha keras.. ya itu tadi, meraih kualitas hidup yang lebih baik, bukan berarti dengan menghadirkan TV plasma di rumah, water heater, kulkas bervolume besar dan lain sebagainya, tapi dapat menciptakan kehidupan keseharian untuk yang satu ini. Kendaraan dicicil, ya salah satunya diniatkan untuk ini kalau memang jarak antara rumah dan masjid jauh, cobalah.. akan terasa lebih barokah.

Sedikit catatan tambahan, kemarin ini saya terima sebuah pesan di group. Sebuah catatan kecil dari seorang budayawan. Yang mempertanyakan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan pada orang kecil pada saat menuju shalat jumat. Apakah terus menuju masjid untuk shalat jumat, atau menolong? Lalu kemudian diuraikan pesan-pesan yang pada intinya umat beragama juga harus mengedepankan kehidupan social. Beberapa saya setuju, tapi kebanyakannya tidak. Karena bagi saya, contoh awalnya adalah kasus khusus. Dan penjabarannya mencampur adukan etika social dan ritual peribadatan. Ini domain berbeda. Dua-duanya diajarkan, dan harus dilaksanakan. Tentu ada manajemen prioritas pada kasus-kasus khusus. Kelihaian dalam memanage-nya akan didapat dengan latihan keseharian. Dan utamanya menurut saya, tulisan-tulisan seperti ini, dijadikan bahan referensi kuat untuk menggantikan pelaksanaan ibadah ritual yang utama oleh praktek-praktek hidup dalam keindahan kebersamaan dengan penuh cintah kasih sejati nan damai, sekali kali tidak.. ibadah ritual lebih di prioritaskan karena ada hak Allah disana, dan berkehidupan social pun harus, karena ada hak makhluk Allah disitu. Tak berat itu.. dan menurut saya, hasil dari pengasahan ibadah ritual yang baik, hasilnya adalah kepribadian yang paripurna dalam berkehidupan social. Itu yang saya yakini.

 

Terakhir tuan.. resapi arti dari adzan, salah satu kalimatnya adalah “Marilah meraih kemenangan”. Kemudian panggilan ini terasa bukan hanya sebatas kalimat dalam tanda bahwa sebuah waktu shalat telah tiba, yang dulu sering saya anggap seperti itu.. shalat nya nanti lagi, toh masih diperbolehkan. Tapi maknai, bahwa panggilan itu adalah panggilan untuk menjadi juara.. Dimana ? kapan? Ya di tempat adzan itu dikumandangkan.. sang muadzin mengajak itu, dan saya harus bersegera untuk dapat berjama’ah di tempat sang muadzin mengajak. Ingat, ajakannya tak berupa bisikan.. tapi sebuah teriakan yang dikumandangkan dengan keras-keras agar terdengar, agar mau terpanggil. Maka, cukupkah kita hanya mengabaikan ini ? padahal jelas-jelas pahalanya adalah kemenangan yang agung dan abadi.

 

“Berilah kabar gembir kepada orang- orang yang berjalan di kegelapan malam menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. ( HR. Abu Dawud dan Tirmidzi )

 

 

Wallahu alam.

 

 

Silahkan lihat juga:

 

http://www.darusyahadah.com/sholat-shubuh-berjamaah-meski-harus-merangkak.html

http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat-berjamaah.html

http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/keutamaan-shalat-jama-ah-di-masjid.htm#.VQ7vpo6UePs

Jangan Terlalu Indah….

Awal tahun 2015 diwarnai awan hitam yang menggelayut menaungi bumi.. awan hitam itu adalah harga minyak dunia. Angkanya menurun terus, menjauhi angka tiga digit. Hingga terhempas di bawah 50 USD per barrel. Terjadi keributan antar produsen2 minyak dunia tapi tak menolong perbaikan harga, bahkan justru memperkeruh suasana..

Syahdan… pelaku pelaku bisnis di industry ini mulai merasakan getirnya efek dari harga minyak ini. Manajemen perusahaan-perusahaan minyak serempak menyatakan efisiensi, proyek-proyek di tunda…. Ini hantaman cukup keras bagi vendor-vendor, konsultan, dan kontraktor yang periuk nasi utamanya adalah project dari oil company.  Korban paling awal adalah pekerja, PHK mulai terjadi dimana-mana, atau kontrak-kontrak kerja yang tak diperpanjang, bahkan beberapa perusahaan sudah tak kuat bertahan di awal krisis, langsung tersungkur KO. Dan adalah suatu keadaan suram bagi pekerja yang tak diteruskan kontrak kerjanya pada masa ini, karena papan lowongan kerja dimana-mana bersih putih mulus. Awan hitam itu terus membesar dan makin membesar… mengancam para pekerja dan perusahaan yang bergerak di bidang oil & gas.

 

Keresahan melanda, sebab utama adalah masalah kelangsungan dan kepastian hidup, beberapa sempat panik, salah satu cirinya adalah topik pembicaraan tak bisa lepas dari kondisi ini. Tak peduli dengan politik dalam tanah air  yang sudah dimaklumi oleh rakyatnya sendiri yang baik hati, tak peduli dengan nasib klub sepakbola jagoannya, tak peduli… yang dipedulikan adalah kelangsungan hidup. Perut bung!

Tapi kemudian pertanyaannya adalah apakah memang betul betul masalah perut dalam arti sebenarnya? Saat itu belum saya temukan jawabannya, karena pada saat itu pula saya larut dalam gelombang kegelisahan massal… bekerja dalam ketidakpastian. Kesuraman harapan. Dan kegelapan yang makin pekat.. karena sang awan hitam itu bukannya hilang punah, tapi makin hari makin menggelapkan ruang hidup.

 

Saat itu saya teriris-iris… sambil berjalan pulang dari tempat kerja, dan saya mulai memperhatikan detail-detail yg biasanya saya acuhkan. Detail yang penuh warna kemilau itu akan sirna, tak lama lagi. Seiring dengan berakhirnya kontrak kerja. Detail-detail itu harus  saya nikmati sebanyak mungkin hingga akhirnya tak bisa dinikmati lagi dalam keseharian seperti saat itu, karena saya harus pulang. Ya kembali ke tanah air, dengan kepastian yang menunjukan angka kecenderungan yang kurang mengenakan hati. Karena toh kondisi di tanah air sama lesu-nya.

Irisan terasa lebih tajam mengingat angka-angka ajaib yg sampai saat ini saya masih tak percaya. Angka-angka ajaib itu akan ikut hilang… memang tidak menjadi nol. Tapi tidak se-ajaib ini, yang artinya biasa-biasa saja. Kalau sudah disebut ‘biasa-biasa saja’, itu artinya hidup kembali biasa-biasa. Kalau begitu, saat itu hidupnya ajaib? Ya.. seperti yang saya katakan tadi, sampai saat ini masih saya belum percayai. Tapi itulah takdir, penuh dengan keajaiban.

Sampai tiba di rumah, bukan teiris lagi rasanya hati ini, tapi mungkin bisa dikatakan meledak hancur. Melihat istri tercinta menyambut dengan suka cita tanpa mengetahui kegalauan yg besar yang berada dalam pikiran ini. Saya masih mencoba menyembunyikannya. Tak tega rasanya melibatkan dan mengajaknya untuk ikut dalam kegalauan nyata saat itu…

 

Berdoa dipanjatkan lebih intens, meminta agar keadaan menjadi normal seperti sedia kala, meminta  agar …. Meminta agar… Saya mencari lagi terminologi yang tepat utk kondisi saat itu, dan saya mendapatkan, yaitu : meminta utk tak kehilangan ini semua. Jleb.

Saya terperanjat dengan permintaan yg satu ini. Adalah wajar dan hak saya untuk meminta itu, tapi merenungi kata ‘tak kehilangan’ cukup membuat bathin saya berontak. Itu tak benar.. itu melawan hati nurani. Melawan yang telah diajarkan dan dipahami.

Saya rasa, saya rasa.. saya  tak perlu menjelaskan dalil-dalil tentang kenisbian dari kehidupan dunia ini, tapi saya yakin tuan-tuan pembaca yang budiman sudah faham betul apa yang akan menjadi kemenangan dan tujuan yang abadi, dan apa yang menjadi kemenangan untuk sementara saja… Maka tak perlu saya tuliskan lagi..

 

Saya menjadi teringat, di suatu hari dulu.. jauh sebelum keriuhan dari banyak hati yang gelisah ini, dalam canda ringan saya melemparkan joke,”wah.. kalau ada orang dapat rate 300 USD / hour, itu orang sudah tak mau mati… juga dengan keluarganya tak mau kehilangan dia.. hehe ”.

Teman-teman didekat saya itu tertawa dan mengiyakan joke saya itu.. Bayangkan Tuan, pendapatan 150 USD atau sekitar 2 juta rupiah hanya untuk kerja satu jam saja! Dua jam… 4 juta rupiah.. Tiga jam.. 6 juta rupiah…. 8 jam : 16 juta rupiah, untuk sehari kerja saja! Istilahnya, sehari kerja kira-kira pulang bisa mampir ke toko sepeda motor dan pulang bawa sebuah motor baru. Bandingkan dengan saudara kita yang berpayah-payah mencicil satu buah motor saja dalam waktu tiga tahun, dan bahkan ribuan tak bisa selamat sampai tamat bin lunas yang berujung sepeda motornya dijabel pihak leasing. Hiks.. dijabel motor itu pahit Tuan, pernah saya alami itu..

Dan untuk dicatat, yang bergaji seperti diatas nyata ada, meski bukan saya.. hiks.. hehe

Dan kembali pada saya… saya menjadi sedih, betapa ketakutan akan hanya kehilangan sesuatu yang tak seberapa. Sesuatu yang penuh kesementaraan itu. Tapi kemudian berseliweran pertanyaan-pertanyaan bathin di dalam yang harus dijawab didalam pula. Awalnya semuanya terasa gelap, suram, kisruh.. Tarik-menarik antara keinginan, harapan, kenyataan, kebenaran,… nilai-nilai kehakikian… nilai-nilai motivasi.. nilai-nilai hidup dan kehidupan…

Lama-lama toh kemudian harus diambil kesimpulan juga, tak bisa terus menerus seperti itu. Membaca dan membaca… merenung dan merenung..dan sampailah pada jawaban dua kata simple yg sering disebut dan membuat sejenak goncang bathin ini, jawabannya adalah “CINTA DUNIA”. Nah itu jawabannya.

Saya bahagia… menemukan jawaban itu, kemudian paham akan kejadian-kejadian dari beberapa tokoh yang justru ‘tidak senang’ ketika meraih puncak kejayaan.

 

Saya tak perlu mendengarkan kritik tuan, siapapun. Karena memang saya tak mencari pembenaran atau penerimaan dari siapapun. Yang terpenting saya memahami ini dan juga keluarga saya memahami ini, cukup.

Tapi, dari jawaban itu kemudian saya cukup sedikit bingung, waktu kecil kita dididik dan diajarkan untuk berusaha sekuat tenaga meraih kesuksesan. Untuk apa? Untuk menjadi orang terpandang dan membanggakan! Hehe.. itu jawaban masa kecil, setelah dewasa jawabannya kemudian akan berubah, Pertama tentu saja untuk menunaikan kewajiban utama untuk menghidupi keluarga. Dan kedua.. untuk mendapat kehidupan yang layak.. yang beradab bagi diri pribadi dan keluarga. Tapi kemudian, ketika kesuksesan itu diraih kita pun diharuskan bersiap.. kapanpun, siang malam, pagi sore, waktu cerah atau hujan bahkan badai sekalipun.. untuk kehilangan.. baik sebagian atau keseluruhan, baik cepat atau lambat.

Jika alasan tuan bahwa yang tuan usahakan untuk keluarga…anak-anak. Boleh jadi saat itu juga saya dalam hati tertawa sambil mencibir, ayolah.. akui kita semua ingin hidup enak. Tentang keluarga, dari yang saya yakini, ternyata sudah jelas posisinya dan telah dituliskan secara definitif. Saya punya dalil ttg itu, tapi sudahlah, tak perlu berdebat. Letih berdebat itu, dan kadang tidak bermanfaat banyak hehe.. tapi, akui saja deh.. biar cepat selesai. 😀

 

Tuan, inti dari yang ingin saya sampaikan..  hati-hati dengan kenyamanan, ujiannya lebih mengerikan.

Saya tak perlu membeberkan dalil-dalilnya. Saya pernah pada kondisi kalau boleh dikata sangat tidak beradab, dan itu bukan karena keinginan tapi memang kenyataan, alias nasib, dan saya berani adu lah ttg ‘ketidak-beradab’annya.. sangat pahit, dan mungkin saat itu rela utk kembali pulang. Dilain pihak, juga pernah merasakan hidup enak, yang dengan angkuhnya merasa itu adalah hasil jerih payah saya semata. Dan sejatinya itu tidak benar sama sekali… dan Tuan,  di titik itu.. enggaaaan rasanya untuk kembali.

 

Begini tuan… simak sebentar percakapan di bawah menanggapi pernyataan saya di atas:

 

Apakah berbeda? Tentu berbeda…

enak yang mana? Tentu enak yang berkecukupan.

Apa hal utama yang membedakan?? Kenyamanan.

Lalu apa yang paling penting dalam arti kata ‘kenyamanan’ ? rendahnya tingkat keterbatasan.

(Ah Bahasa yang sulit, .. Bahasa sederhananya punya keleluasaan dalam memiliki dan mewujudkan keinginan.

Tapi tetap Bahasa yang sulit juga, Lebih sederhananya lagi kaya-raya, sukses jaya, sehat sentauuuusa. Itu tuan.. hehe.. )

Senang jadi kaya raya dan sukses jaya? Senang…

Hidup ini indah? Indah…

Relakah jika itu hilang sekarang? …euhhh…. anu… yaa.. euu……….. *duh

 

Nah, Ketika di titik itu.. saya sebut titik kejayaan hidup dimana keleluasaan dalam memiliki dan mewujudkan hasrat hasrat jiwa, apapun, dengan mudah diwujudkan.. dititik itu pula pada umumnya, dari suku bangsa apapun, perempuan atau laki-laki.. sangat enggan untuk terlempar kembali ke bawah. Mana ada  yang mau??

Saya pribadi cukup bahagia dari penemuan yg menyejukan bathin ini. Tentu utamanya dari petunjuk hidup yang saya yakini. Sedikit banyak saya mempunyai cara pandang yang berubah terhadap kebendaan. Tuan, Itu terlalu murah untuk dijadikan prioritas utama dan sebagai skala ketercapaian.

Lalu bagaimana jika ‘terlempar ke bawah’? saya pikir, Insya Allah untuk makan dan tidur dan hidup beradab bisa diusahakan, Allah Maha Pemurah. Nah, kalaupun harus betul betul hilang semuanya.. ya mau apalagi, hidup harus diperjuangkan, dan harus bersiap dengan ujian demi ujian. Ringan atau berat.. ya harus dihadapi. Kalem.. Allah Maha Pengasih. Yakini itu.

Nah, balik lagi.. Lalu apa yang akan hilang jika awan hitam tadi mengeluarkan semburan petirnya alias harus kehilangan pekerjaan ini?? Menurut saya yang hilang adalah kelebihan-kelebihan tertentu yang jika tidak ada, saya rasa tidak akan membuat kita sakit sampai harus dirawat berhari-hari dirumah sakit, atau mules perut berbulan-bulan 😀 – tidak akan seperti itu.

Ya … kelebihan-kelebihan tertentu itu misalnya seperti travelling, vehicles, properti, hobi, kuliner, pergaulan, media social dan lain-lain. Kata sederhananya “life style”, itu saja. Betul tidak? eh, bagaimana dengan Kesehatan? ada BPJS toh.. hehe. pendidikan anak? hmm.. panjang ceritanya, tapi saya pribadi yang terpenting itu anak harus normal dulu, sehingga keinginannya pun normal-normal saja, bayangkan jika anak punya keinginan luar bisa, misalnya ingin jadi HULK?? repot.., Normal, itu saja cukup buat bekal hidupnya. seorang anak malu tidak pergi shalat jumat adalah kenormalan sejati, sebelum paham arti sebenarnya. lah bapa nya juga dulu sekolah belang betong dan kuliah di gunung haha.. panjang lah kalau cerita ttg ini. lain waktu saja ya.? Iya. – Ok, terimakasih.

Tuan, terakhir sedikit kata-kata iseng dari saya, hidup itu jangan terlalu sangat-sangat enak dan indah lah.. bisa-bisa jadinya tak mau meninggalkan hidup ini dan selalu rindu untuk tetap hidup. Gawat itu.

 

Salam.

 

 

Mendongeng Sebelum Tidur..

Pantas saja hari-hari belakangan saya agak gelisah,rindu kepadanya muncul lebih intens.. ah ternyata hari ini, 30 November bertepatan dengan hari kelahiran beliau, pada tahun 1936. doa tentu langsung kupanjatkan kehadirat Ilhahi robbi untuk keselamatan dan kesejahteraannya di alam kubur sana.

Sedikit mengingat-ingat masa kecil saya dalam bimbingan dan buaiannya dengan membuka album foto masa kecil, tentu kata syukur diucap betapa beruntungnya saya mempunyai seorang ibu yang luar biasa. Meski kemudian ada perasaan sedih, mengapa perjumpaan dengan beliau harus cukup dalam masa 13 tahun saja, tak lebih. Namun, 13 tahun yang luar biasa…

Rasa iri tak bisa saya tolak melihat saudara atau teman yg dapat menjalani kehidupan ini bersama ibu kandung dalam rentang waktu yang relatif cukup lama, tapi rasa iri berlebihan tak baik juga. Bersyukur dibanding orang2 yang relatif lebih sebentar berjumpa atau bahkan harus berpisah tepat sejak menghirup udara dunia ini…

Tentu banyak nilai nilai kehidupan yang diajarkan beliau kepada saya baik itu secara langsung maupun tak langsung.. salah satu kenangan indah yg dpt diingat selalu bagi saya dan juga cara ibu sedikit banyak mengajarkan ttg nilai nilai kehidupan adalah dengan cara khasnya dalam  mendongeng sebelum tidur… Tentu semua orang juga mengalaminya, tapi karena saya sedang merindu sangat akan beliau boleh saya menulis ttg dongengan sebelum tidur ini, karena itu juga pengalaman yg sangat sangat menyenangkan bagi saya..

Waktu kecil saya tidur di ranjang besar, dengan ibu dan 2-3 kakak saya, 7 kakak lain sudah berbeda kamar, saya sebagai putra bungsu tentu harus menempel dengan ibu, hak prerogatif bungsu atuh. hehe. meski sesekali kalah bersaing oleh kakak perempuan saya utk dapat menempel pada ibu. Alm bapak saya sendiri terpaksa mengalah tidur di ranjang berlainan.

Dongeng ibu saya cukup beragam.. hampir semua riwayat nabi di ceritakan, adalah khas ibu saya dengan menyebut “kangjeng nabi…”, anak mana yang kemudian khayalannya tidak berlari lari menjadi seorang pemberani ketika diceritakan riwayat kangjeng nabi Musa a.s atau nabi Daud a.s, atau berhayal menjadi kaya raya ketika diceritakan riwayat kangjeng nabi Sulaiman a.s., bahkan berhayal menjadi pujaan wanita seperti halnya nabi Yusuf a.s 😉 , petualangan nabi Yunus a.s , dan tentunya riwayat Rosulullah saw.. keprihatinan dan perjuangan seorang anak yatim dalam melaksanakan tugas beratnya yang kemudian menjadi suri tauladan umatnya… dan juga riwayat nabi-nabi lain atau riwayat kesucian Siti Maryam putra Imran yang kemudian di urus oleh Nabi Zakaria a.s.

Dongeng ibu saya tentu tidak sebatas riwayat para nabi, di lain malam hikayat2 daerah baik nasional maupun internasional di dongengkan, hikayat sangkuriang mungkin diputar ulang belasan kali , juga malin kundang, kisah perlawanan Kian Santang terhadap bapaknya, prabu Siliwangi, dan lain lain.. selain hikayat, sejarah pun di dongengkan, bagaimana jahatnya gerombolan DI/TII dan PKI.. dan tentunya kisah kejayaan pasukan Siliwangi pada saat itu, mungkin ini sebagian tugas doktrinisasi seorang anggota Persit kartika chandra kirana pada generasi muda utk mencintai NKRI,

Untuk dongeng yg agak mendunia, masih ingat ibu menceritakan ttg sejarah kerajaan Inggris dengan cerita affairnya seorang Anne Boleyn hingga seorang pangeran kehilangan hak waris tahta kerajaan, juga ttg kehancuran keluarga Bolshevik, sejarah tokoh dibelakang pembangunan Vila Isola,  yg kemudian menjadi kampus almamater ibu, dll tentu dengan kedalaman cerita secara ringan dan mudah kami pahami.

Tidak sampai disitu, kisah pewayangan kadang diceritakan secara garis besar, misal bagaimana keluarga Pandawa kehilangan negara astina karena kebodohan dalam bermain judi, juga kisah latar belakang adanya keluarga panda dan kurawa…

Dongengan ttg tokoh2 sesekali di ceritakan… tentunya pula dongeng kanak2 fabel atau kisah samodel hans and gratel juga diceritakan, apapun… yang kemudian pada hemat saya saat ini, seorang ibu perlu banyak membaca dan mungkin melemparkan gadgetnya jauh-jauh pada waktu istimewa tersebut :D… tidak bisa tidak, karena ybs selain harus mempunyai koleksi dongeng yg baik, juga harus lihai juga menjawab pertanyaan2 lugu kami… dan tentunya cerdas dalam menyisipkan pesan nilai nilai moral yang baik bagi anak-anak kebanggannya..

ya.. saya sangat rindu pada beliau.. hampir 28 tahun beliau meninggalkan kami, tapi tak hentinya doa kami panjatkan utk keselamatan dan kesejahteraan-nya..kini beliau sedang tertidur nyenyak bersemayan di pusaranya, persis bersebalahan dengan alm bapak, sebuah cermin keabadian cinta mereka. Terimakasih atas bimbingan dan kasih sayang, juga dongengannya… itu sangat sangat menyenangkan. Semoga Allah ta’alla senantiasa melapangkan kuburnya mereka berdua dengan cahaya lembut menerangi tidur panjangnya menunggu hari yg semua makhluk menunggu juga.. Aamiin ya robbal alamin.

Islamic words and expression in English

following islamic expressions are frequently used in english by muslims all over the world

 

Alhamdulillah   :   Praise to Allah

Ashokrulillah. : Thanks to Allah

Alhamdulillah w AShokrulillah.  :  Praise and Thanks to Allah

Subhanallah. : Glory to Allah

Mashallah. : What Allah wishes

La ilaha illa Allah. : There is no god but Allah

Mohammadun Rasulu Allah.  : Muhammad is the messenger of Allah

Allahu Akbar.: Allah is great (greater),

La hawla wala quwata illa billah.  :  There is no change/ transformation nor power/ strength except through Allah

Bismillah.  :  In the name of Allah

Bismillah Awaluhu wa Akhiruhu.  :  “In the name of Allah, at its beginning and at its end”

Bismillah Arrahman Arraheem.  :  In the name of Allah, the most gracious the most merciful

Inshallah.  :  If Allah wills.

Rahimakallah. : May Allah have mercy on you, or May Allah bless you

Yarhamuka Allah. : May Allah have mercy on you “bless you”,

Yahdikumu Allah wa Yuslihu balakum. : May Allah guide you and set your affairs right.

Enna lillah wa enna elaihe Rajioun. : To Allah we belong, and to him we will return

Astaghfiru lillah. : I seek forgiveness from Allah.

Allahumma salli ala Muhammad. : Oh Allah bestow your mercy on Mohammed.

Assalamu Alaikom. : Peace be upon you.

Assalamu Alaikom warahmatu Allahi wa barakatuhu. : Peace be upon you and Allah’s mercy and blessings

Ash-hadu An laa Elaha Ella Allah wa Ash-hadu anna Muhammadan Rasulu Allah. : I bear witness that there is no other God but Allah, and I bear witness that Muhammad is the messenger of the Allah

A-ozu billahi mena shaitaan Arrajeem : I seek refuge in Allah from the cursed Satan “shaitan”.

Baraka Allahu fika : May Allah bestow his blessings on you

Tawakkalna ala Allah : I place my “absolute” trust on Allah.

Allahu A’lam : Allah knows best

Jazaka Allahu Khairan  : May Allah reward you with all good.

 

Source:

http://arabic.speak7.com/islamic_expressions.htm

 

 

 

 

Quotes from Movies

– Shake Hands with the Devil – 2007

General Romeo Dallaire: “We’re going to stay to bear witness to what the rest of the world doesn’t want to see.”

 

– Hotel Rwanda – 2004

Pat Archer: [walking with family towards bus] They said that there wasn’t any room.

Paul Rusesabagina: There’s always room. ”

 

– The Godfather – 1972

Johnny Fontane: Too late. They start shooting in a week.

Don Corleone: I’m gonna make him an offer he can’t refuse. Okay? I want you to leave it all to me. Go on, go back to the party. ”

 

– Twister – 1996

Bill: Jo. Things go wrong. You can’t explain it, you can’t predict it. Killing yourself won’t bring your dad back. I’m sorry that he died, but that was a long time ago. You gotta move on. Stop living in the past, and look what you got right in front of you.

Jo: What are you talking about?

Bill: Me, Jo.

 

  • Ali 2001

    Muhammad Ali: This was supposed to be the fight that Muhammad Ali was ended. Supposed the myth that Muhammad was gonna fall! Supposed to be my destruction! Well, they miscalculated, they misjudged, they got it wrong!

     

     

    Source: http://www.imdb.com

Sensor to Transmitter Matching (Calendar-van Dusen equation)

Rosemount offers improvement in accuracy of temperature measurement by RTD. It can be attained using a temperature sensor that is matched to a temperature transmitter.

This process involves identifying the relationship between resistance and temperature for a specific RTD sensor. This relationship, approximated by the Callendar-van Dusen equation, is described as:

Rt = Ro + Roα[t – δ(0.01t – 1)(0.01t) – β(0.01t – 1)(0.01t)3],

Where

Rt = Resistance (ohms) at Temperature t (°C)

Ro = Sensor-Specific Constant (Resistance at t = 0 °C)

α =Sensor-Specific Constant

δ =Sensor-Specific Constant

β =Sensor-Specific Constant (0 at t > 0 °C)

 

The exact values for the Callendar-van Dusen constants (Ro, α, δ, β) are specific to each RTD sensor and are established by testing each individual sensor at various temperatures.

Series 65 RTD sensors can be ordered with the Calibration Option codes V10 or V11, where the values of all four sensor-specific constants are supplied with each sensor. So the transmitter can be programmed with these constants to improve the accuracy.

 

Below the example of improvement by this approaching.

 

Standard 65 sensor

Rosemount 3144P    : + 0.1 oC

Standard Series 65    : + 1.05 oC

Total system        : 1.05 oC

 

65 sensor with V10 option

Rosemount 3144P    : + 0.1 oC

Standard Series 65    : + 0.18 oC

Total system        : 0.21 oC

 

IEC 751 Interpretation

There is similar approaching from IEC to describe the relation between resistance and temperature. The IEC 752 R vs T relationship standard uses the following equation:

Rt = Ro[1 + At + Bt2 + C (t-100)t3]

 

Either methodology yields the same result in any sensor-to-transmitter matching scenario, since one equation is a simple mathematical interpretation of the other.

 


 

Source : Rosemount

 

 

RTD or Thermocouple

We know Rosemount is a major brand from Emerson for field instrumentation. Here we will discuss about temperature measurement thus continuing with accuracy improvement during sensor and transmitter assembled.

About RTD or thermocouple, simply the differences about range measurement. RTD for limited range typically until 600 degC and thermocouple until 1000 degC. Rosemount offers two sensors that widely used in many process plant. The series 65 Platinum RTD and Series 185 Thermocouple. Both specification cannot be compared one by one since the measurement method is different. But we can read the major specification with either Rosemount product as an example.

 

Series 65 Platinum RTD Specification

100 Ω RTD at 0 °C,

α = 0.00385 Ω x °C/Ω.

Temperature Range

–50 to 450 °C or –196 to 600 °C depending on type

Self Heating

0.15 K/mW when measured per method defined in DIN EN 60751:1996

Thermal Response Time

9 seconds maximum required to reach 50% sensor response when tested in flowing water according to IEC 751

Immersion Error

60 mm minimum usable depth of immersion when tested according to IEC 751

Insulation Resistance

1,000 MΩ minimum insulation resistance when measured at 500 Vdc and at room temperature

Sheath Material

316 SST / 321 SST with mineral-insulated cable construction

Lead Wire

PTFE insulated, silver-coated copper wire.

Identification Data

The model and serial numbers are marked on each sensor Ingress Protection (IP) Ratings Rosemount Series 65 sensor assemblies are IP65 / IP68 and NEMA 4X. This rating is applicable only for complete assemblies including either:

• a connection head, extension, and barstock thermowell

• a connection head and tubular thermowell

• a connection head, extension, and sensor

 

 

Series 185 Thermocouple

Construction

A thermocouple consists of a junction between two dissimilar metals that produces a change in thermoelectric emf in relationship to a change in temperature. Rosemount Series 185 thermocouple sensors are manufactured from selected materials to meet IEC 584 Tolerance Class 1. The junction of these wires is welded to form a pure joint, maintaining the integrity of the circuit and ensuring the highest accuracy. Ungrounded junctions are protected from the environment by the sensor sheath. The ungrounded and isolated junctions provide electrical isolation from the sensor sheath.

Sheath Material

Rosemount thermocouples are made of a mineral insulated cable design with a variety of sheath materials available to suit both the temperature and the environment. For temperature up to 800 °C in air, AISI 321 is standard. For Temperatures from 800 to 1100 °C in air, Inconel 600 is standard. For temperatures above 1100 °C, precious metal or ceramic protective sheaths are available upon request. For strongly oxidising or reducing atmospheres, to be consult to manufacturer.

Lead Wires

Thermocouple, internal – 18 SWG (16 AWG) solid wire (max), 19 SWG (18 AWG) solid wire (min.). External extension leads, Type J and K – 0.8 mm minimum stranded wire, PTFE insulated. Color coded per IEC 584. See Figure 3 for wire configuration.

Identification Data

The model and serial numbers are marked on each sensor.

Insulation Resistance

1 000 MΩ minimum insulation resistance when measured at 500

Vdc and at room temperature.

Ingress Protection (IP) Ratings

Rosemount Series 65 sensor assemblies are IP65 / IP68 and NEMA 4X. This rating is applicable only for complete assemblies including either:

• a connection head, extension, and barstock thermowell

• a connection head and tubular thermowell

• a connection head, extension, and sensor

Characteristic of Series 185 thermocouples

Type Alloys (polarity) Sheath material Temp. Range degC Limits of error (DIN EN 60584-2) Tolerance class
J Fe(+), CuNi (-) 1.4541 (AISI 321) -40 to 375, 375 to 750 1.5oC, 0.004 t 1
K NiCr(+), NiAl(-) Inconel 600 -40 to 375, 375 to 1000 1.5oC, 0.004 t 1
N NiCrSi(+), NiSi(-) Nicrobell B -40 to 375, 375 to 1000 1.5oC, 0.004 t 1

 

 


 

Source: Rosemount