Skip to content

Shalat Di Masjid…

March 21, 2015

Bismillah,

Alhamdulillah, Kembali saya menemukan butiran mutiara hikmah kehidupan lagi.  Dan lagi itu berawal dari kegelisahan-kegelisahan hidup dan pencarian-pencarian makna hidup. Pertanyaan awalnya, untuk apa saya hidup dan memperjuangkannya. Resiko hidup, itu harus ditunaikan, karena itu adalah kewajiban, meski sering ditambah embel-embel ingin hidup lebih dan lebih nyaman. Bersamaan dengan itu adalah kewajiban lain yang lebih utama untuk menjadi hamba yang bertakwa. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Di tambah berbuat kebajikan. Selesai.

Lalu.. bentuk ideal seperti apa bagi saya dalam kehidupan yang penuh dengan hedonism ini? Menepi dan focus pada menimba ilmu agama? Dan lain-lain dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal yang membimbing saya menuju kesimpulan yang satu ini, dari berbagai bacaan dan kejadian, baik itu yang dialami sendiri atau bukan. Kejadian pertama adalah ketika menonton video bagaiman seorang Raja Arab Saudi yang baru naik takhta meninggalkan tamu kehormatan, seorang Presiden USA, demi memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa, Allah ta’ala.

Dunia tercengang akan kejadian ini, pro-kontra muncul tapi tidak terlalu terbuka. Saya pribadi kagum, bagaimana seorang Raja memprioritaskan panggilan shalat dan mengambil resiko dikecam pihak luar. Nampak, apapun resikonya, prioritas tertinggi tetap diperuntukan kepada Allah.

Kemudian saya teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sbb:

“Sesungguhnya sholat yang paling berat bagi orang munafiq adalah isya dan shubuh, seandainya mereka mengetahui pahala yang terkandung dalam sholat isya” dan sholat subuh niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan  merangkak”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tercenung lagi.. sebuah pahala yang luar biasa, yang tak tersebut tapi saya yakini ada sesuatu disana. Apakah itu sebuah istana megah, apakah itu sebuah taman yang indah? Tak tahulah, tapi  adalah sesuatu yang menggembirakan pastinya karena bisa dibayangkan, saking indahnya pahala tersebut, bahkan seseorang rela untuk merangkak untuk dapat melaksanakannya, walau dalam keadaan yang sangat berat, demi meraihnya. Masalahnya, pahala itu tak tertulis atau tervisualkan, apakah itu di akhirat nanti, atau juga di dunia ini…? Tak terdeskripsikan jelas, tapi hanya sebuah isyarat bahwa itu sangat indah.

Dari dua itu, lalu saya merenungi perjalanan hidup. Setiap hari kita bekerja mencari penghidupan, agar dapat hidup layak dan beradab. Dalam tulisan sebelumnya, saya menyinggung ini. Yang kemudian muncul pertanyaan lalu apa yang harus dilakukan setelah hampir semua diraih? Karena pada titik itu juga kita harus siap untuk kehilangan. Tak boleh tidak, tak boleh tak mau ketika takdir mengharuskan untuk melepaskannya atau kehilangannya.

Pencarian keideal-an hidup pun dimulai. Dimulai pada kehidupan sehari-hari, dengan sedikit mengenyampingkan event-event besar dalam hidup, karena kadang itu banyak menguras energy untuk dipikirkan dan diperhitungkan, padahal kehidupan keseharian adalah bagian terbesar pada porsi kehidupan ini.

Baiklah, dalam satu hari, kehidupan saya diawali dengan bangun untuk shalat subuh berjamaah dengan istri, lalu seringkali tidur sebentar karena waktu pergi kerja masih lama. Setelah itu bekerja penuh seharian, istirahat di tengah, Shalat dhuhur dan ashar di surau kantor, kadang juga di laksanakan di rumah. Pulang ke rumah, beristirahat sebentar mengobrol atau nonton TV bersama istri, lalu shalat maghrib berjamaah di rumah. Makan malam, mengobrol dan menonton TV, membaca, sms-an, whatsapp-an, fb-an. Sesekali mengaji setelah Shalat Isya, lalu tidur.

Bagi saya itu kualitas hidup yang lebih dari cukup, semua masih sinkron dan masih sempat utk baca-baca. Tidak banyak waktu terbuang di jalanan, karena jarak dari rumah ke tempat kerja tidak terlalu jauh. Dan juga berlamaan ewuh-pakewuh di media social apapun bentuknya sudah dikurangi. Takutnya nanti, di ujung sana akan muncul, meski hanya sedikit , yaitu penyesalan betapa banyaknya waktu yang terkuras untuk satu itu…. Waktu yang panjang untuk dilalui, hanya utk demi sebuah ewuh-pakewuh saja. Hihi.

Kembali kepada bagian awal-awal tulisan ini, ada yang kurang dengan pola hidup keseharian ini. Ada yang kurang afdol. Kurang high quality lah istilahnya. Terlalu simple. Teringat akan kata-kata, “bahkan untuk mendatanginya, rela sampai merangkak.”. Ini sebuah isyarat bagi saya, ada kekurang afdol-an dalam menunaikan kewajiban ini.  Dan jeng-jreng.. sebuah hadits menegur saya:

 

Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat.”

Masya Allah.. betapa hebatnya pahalanya, bahkan malaikat pun diperintahkan khusus untuk mendoakan sepanjang shalat dilaksanakan. Dan argo dihitung.. meski dalam keadaan diam untuk menanti shalat. Sudahlah, yakini ini… ini suatu yang luarbiasa, dan terjadi di kehidupan keseharian.

 

Saya kembali mencoba merumuskan lagi hidup keseharian yang ideal, karena laki-laki diperintahkan untuk berjama’ah tidak di rumah dan tidak di tempat kerja. Memang indah terasa, mengimami keluarga di rumah, sangat terasa sejuk tapi itu bukan yang ter-afdol. Saya harus pergi ke masjid. Titik.

Saya teringat dulu, kebiasaan saya shalat berjamaah di masjid pada saat SMA kelas tiga dalam menghadapi kelulusan, dan masih diteruskan saat awal-awal kuliah, dan setelah dari itu.. astaghfirullah, sangat sulit dilakukan. Pada saat SD dan SMP, itu masih ‘belang-betong’, karena ajakan teman dan juga masjid tepat di depan rumah.

 

Kemudian ada sedikit penolakan dari dalam diri saya, atau pastinya alasan manusia yang terbisiki. Saya tinggal di apartemen, sulit untuk mendatangi masjid terdekat. Kalau jalan perlu waktu hampir 15 menitan, kalau pakai kendaraan pas saat macet untuk waktu magrib. Saat subuh.. yaitulah, belum bangun. Hehe.. Astaghfirullah.

Jadi saat itu alasannya, kalau Insya Allah tinggal di komplek perumahan seperti dulu, tentu akan saya tunaikan ini, tapi kan sekarang berbeda keadaannya. Dan kadang terpikir, “yah.. nanti lah.. di saat masa-masa pension.” Nah itulah… alasan. Ada alasan lain juga, masa istri ditinggal sendirian di rumah?

Dan malam itu saya berdiskusi ringan dengan istri, eh.. Alhamdulillah, tak disangka, justru istri saya mendukung saya untuk itu. Karena memang itu yang lebih afdol. Maka, di subuh itu.. saya paksakan, karena memang Kendala utamanya adalah saya harus pergi ke garasi yang.. yaitulah, cukup menakutkan bagi saya. Hehe.. da gimana atuh. Tapi saya yakin, masa orang yang mau ke masjid takut. Dan kalau ada apa-apa, bahkan sampai yang terburuk, setidaknya saya dalam keadaan berniat akan pergi ke masjid. Byar.. hilang lah ketakutan itu.

 

Subuh itu saya mendatangi masjid… Masjid Tabung Haji, agak kesulitan memang untuk parkir. Tapi itu tak penting.. Nikmat luar biasa. Ada sebuah gairah baru dalam hidup saya. Menikmati itu.

Besoknya saya bersemangat, tapi mencoba di masjid di belakang, dan ternyata tersedia lahan parkir yang luas. Nikmat dan nikmat lagi dirasakan. Sudahlah, sulit saya menuliskannya disini, coba dan buktikan sendiri saja.. hehe

Tuan, dan seperti ketagihan.. magrib pun saya pergi ke masjid. Untuk mendapatkan kesempurnaan dalam beribadah, dan kemudian …. dan kemudian saya menjadi terbiasa. Untuk saat ini, karena istri saya sedang hamil, maka untuk Isya saya kompromikan untuk berjamaah di rumah saja. Insya Allah, kalau sudah ada ade bayi, dan ada kesempatan.. Isya diteruskan di masjid. Untuk Dhuhur dan Ashar, untuk sementara ini waktu kurang bisa diajak kompromi, pilihan adalah surau di kantor.

 

Dan catatan penting yang saya tuliskan adalah.. kualitas tertinggi ideal dalam hidup keseharian seorang laki-laki adalah adanya kesempatan untuk rutin  berjama’ah di masjid setempat.

 

Saya kemarin membaca, bagaimana ada orang harus pergi start dari rumah pukul 4 pagi agar dapat sampai tepat waktu di tempat kerja. Orang itu tak salah, bahkan artinya bertanggung jawab, itu bagus Tapi kemudian munculah jawaban atas kenapa kita harus berusaha keras.. ya itu tadi, meraih kualitas hidup yang lebih baik, bukan berarti dengan menghadirkan TV plasma di rumah, water heater, kulkas bervolume besar dan lain sebagainya, tapi dapat menciptakan kehidupan keseharian untuk yang satu ini. Kendaraan dicicil, ya salah satunya diniatkan untuk ini kalau memang jarak antara rumah dan masjid jauh, cobalah.. akan terasa lebih barokah.

Sedikit catatan tambahan, kemarin ini saya terima sebuah pesan di group. Sebuah catatan kecil dari seorang budayawan. Yang mempertanyakan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan pada orang kecil pada saat menuju shalat jumat. Apakah terus menuju masjid untuk shalat jumat, atau menolong? Lalu kemudian diuraikan pesan-pesan yang pada intinya umat beragama juga harus mengedepankan kehidupan social. Beberapa saya setuju, tapi kebanyakannya tidak. Karena bagi saya, contoh awalnya adalah kasus khusus. Dan penjabarannya mencampur adukan etika social dan ritual peribadatan. Ini domain berbeda. Dua-duanya diajarkan, dan harus dilaksanakan. Tentu ada manajemen prioritas pada kasus-kasus khusus. Kelihaian dalam memanage-nya akan didapat dengan latihan keseharian. Dan utamanya menurut saya, tulisan-tulisan seperti ini, dijadikan bahan referensi kuat untuk menggantikan pelaksanaan ibadah ritual yang utama oleh praktek-praktek hidup dalam keindahan kebersamaan dengan penuh cintah kasih sejati nan damai, sekali kali tidak.. ibadah ritual lebih di prioritaskan karena ada hak Allah disana, dan berkehidupan social pun harus, karena ada hak makhluk Allah disitu. Tak berat itu.. dan menurut saya, hasil dari pengasahan ibadah ritual yang baik, hasilnya adalah kepribadian yang paripurna dalam berkehidupan social. Itu yang saya yakini.

 

Terakhir tuan.. resapi arti dari adzan, salah satu kalimatnya adalah “Marilah meraih kemenangan”. Kemudian panggilan ini terasa bukan hanya sebatas kalimat dalam tanda bahwa sebuah waktu shalat telah tiba, yang dulu sering saya anggap seperti itu.. shalat nya nanti lagi, toh masih diperbolehkan. Tapi maknai, bahwa panggilan itu adalah panggilan untuk menjadi juara.. Dimana ? kapan? Ya di tempat adzan itu dikumandangkan.. sang muadzin mengajak itu, dan saya harus bersegera untuk dapat berjama’ah di tempat sang muadzin mengajak. Ingat, ajakannya tak berupa bisikan.. tapi sebuah teriakan yang dikumandangkan dengan keras-keras agar terdengar, agar mau terpanggil. Maka, cukupkah kita hanya mengabaikan ini ? padahal jelas-jelas pahalanya adalah kemenangan yang agung dan abadi.

 

“Berilah kabar gembir kepada orang- orang yang berjalan di kegelapan malam menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. ( HR. Abu Dawud dan Tirmidzi )

 

 

Wallahu alam.

 

 

Silahkan lihat juga:

 

http://www.darusyahadah.com/sholat-shubuh-berjamaah-meski-harus-merangkak.html

http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat-berjamaah.html

http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/keutamaan-shalat-jama-ah-di-masjid.htm#.VQ7vpo6UePs

From → Ngaos

Leave a Comment

Leave a comment