Skip to content

Kisah dari Rumah Petak

March 22, 2015

Teman (hidup) saya bercerita, tentang teman masa kecilnya. Dikisahkan dia mempunyai seorang teman di depan rumah. Sebut namanya Imas, umurnya 1-2 tahun dibawah istri saya. Diceritakan juga bahwa dia suka main di rumah Imas. Banyak ketakjuban dari seorang kanak akan  kehidupan Imas ini. Konon ayahnya meninggalkan ibu dan keempat anaknya. Bungsu nya adalah Imas ini.

Ibunya bekerja menjadi pencuci pakaian keliling, dua anak yang besar sudah tinggal di luar, Man.. menjadi pemulung, tak sekolah. Jadi di rumah, hanya ibu dan dua anak saja. Rumah petak dimana mana kecil tak ada yang luas lapang nan damai…, tapi saya ceritakan lagi kelebihannya, yaitu atapnya yang sangat rendah, konon orang dewasa pun harus sedikit membungkuk. Bagi kanak-kanak mungkin ini mengasyikan, karena barangkali serasa di rumah mini. Dan owh, ada keunikan lain dibanding rumah petak umumnya. Ada bagian yang ditinggikan pada lantainya, diplester semen rapi. Ini berfungsi sebagai ranjang. Dan… digelarlah tilam, itulah ranjangnya.

Istri saya menyukai Imas, karena banyak yang dipelajari dari dia. Saat itu istri saya sekolah kelas 3 an, Imas kelas 2 SD. Apa yang dipelajari? Sebetulnya mungkin bukan dipelajari.. tapi dilihat, salah satunya adalah menyetrika dengan setrika powered by arang. Nah, man… usia kelas 2 SD membantu ibunya menyetrika dengan setrika arang!. Man.. kembali saya harus bilang man.. mandom! Haha. Ini nyata, seperti yang diriwayatkan istri saya, dan saya harus percaya ini. Tak boleh tidak.

Dikisahkan, untuk memulai ritual setrika, Imas membawa keluar setrikaan favoritnya itu, lalu arang dinyalakan. Adalah khas kemudian, arang dikipasi dan dimainkan ala tukang sate agar apinya menyebar seperti yang diharapkan. Setelah ok, dimulailah ritual menyetrika pakaian para pelanggan setia ibunya Imas.

Sudahlah, jangan terlalu dibayangkan bagaiman berat setrika arang dibanding setrika modern. Terlalu enak kisah ini untuk dihayati dan mengkoyak-koyak hati ini.. menderai-derai mata..

Kegiatan lain adalah acara menyuguhi tamu, istri saya kerap disuguhi, mungkin bukan selalu. Yang disuguhi adalah the manis hangat! Man.. istri saya masih ingat bahwa itu awalnya adalah perintah ibunya, Imas mengajak istri saya pergi mencari air di TMB, Tempat Mencuci Bersama. Anak kecil tergopoh membawa air untuk dimasak.. ah ingin rasanya melihat saat itu, dua anak-anak kecil gadis lucu berepot-repot membawa air. Istri saya bertanya bagaimana cara memasak air? Lalu Imas pun mendemokan cara membuat api di kompor minyak tanah, lalu direjanglah air dalam panci yang bentuknya sudah jauh  dari bentuk asli ketika pertama kali dibeli duluuu, jaman bahuula. Lalu Imas memberi tahu, bahwa itu harus ditunggu sampai menggolak. Istri saya tak tahu apa itu menggolak, dan beberapa saat kemudian, ketika saat takdirnya telah tiba.. saat titik 100 derajat Celcius, atau setara dengan 373.15 derajat Kelvin dicapai dan air pun menggolak. Pada kali pertama itu, paham lah istri saya apa arti menggolak. 😀 😀

The panas dihidangkan.. dibubuhi gula, agar manis.. ah indahnya masa kecil istriku.

 

Rumah petak yang ditempati Imas dan keluarga, terdiri dari jejeran 4 unit tipikal plus unit khusus. Unit khusus ini lebih kecil, bisa dibilang seperti pos ronda. Hanya utk tidur dan menyimpan pakaian. Penghuninya adalah seorang pensiunan tentara yang membeca setiap harinya, alm Mang Pandi. Konon uang pensiunannya sudah menjadi hak absolut mantan istri dan anak-anaknya. Kesebatang-kara-an Mang Pandi dicukupi dari mem-beca. Salah satu khas kehadirannya adalah di beberapa malam suara batuknya yang terdengar…….

Petak unit pertama dihuni keluarga asal Jawa Tengah, Bude  istri saya memanggilannya. Berdagang di stasiun kereta api. Unit kedua dihuni keluarga Imas, yang hidup dari mencuci pakaian dan dukungan kedua anaknya yang menjadi pemulung. Unit ketiga diisi oleh guru ngaji dengan istri dan dua anaknya yang cakep, kata istri saya. Dan unit keempat dihuni keluarga dimana ayah dan semua anak laki-lakinya  yang kekar juga dan tak pernah merasakan bangku sekolah tapi langsung membangun kerajaan bisnis pribadi tanpa resiko krisis….. bisnis memulung. Karena unitnya berada paling ujung, praktis halamannya menjadi storage barang-barang yang masih ada nilainya untuk dijual ke bandar sampah daur ulang. Jangan khawatir bagaimana hasilnya kemudian jika anak-anak kekar ini tak bersekolah.. mereka kini semua sudah berkeluarga, mandiri dan tetap kekar, dan menghasilkan generasi yang kekar pula..  sebuah golongan khusus, golongan yang dibutuhkan dan dicari masyarakat perkotaan saat ini…

 

Dikisahkan, penghuni rumah petak ini kemudian dibubarkan oleh pemiliknya. Ada bumbu tangis-menangis pada saat eksekusi pengosongan. Saya tak bisa komentar, karena kurang info tentang ini. Tapi saat itu Mang Pandi sudah meninggal, jadi kejadian ini menimpa hanya pada empat keluarga saja. Sudahlah.. jangan terlalu detail tentang ini, jadinya terlalu o mama o papa banget. Hehe

 

Kisah diakhiri cukup enak diikuti, semua alumni set rumah petak ini kini masing-masing sudah memiliki rumah pribadi. Beberapa di pinggir rel kereta, cukuplah itu.. kalau kemudian ceritanya kebanyakan mereka berhasil memiliki rumah di cluster-cluster mewah.. terlalu amerika banget ceritanya, tak asyik jadinya apalagi misal salah satu anak alumni petak itu diceritakan menjadi Rambo.. . Apapun, yang penting ada kemajuan, memiliki property.

Imas? Alhamdulillah Imas sudah berkeluarga dengan anak yang sudah remaja, konon menikah di usia muda dan kini bekerja di pabrik. Saya tak tahu posisinya apa, tapi syahdan di suatu hari ibu mertua saya memerlukan bantuan ibunya Imas, Imas dengan halus menolak permintaan itu… “Maaf bu,… ibu terlalu tua untuk bekerja, meski hanya untuk menemani sekalipun…..” Nah… 🙂

 

 

From → Cerita

Leave a Comment

Leave a comment